MEMPERTAHANKAN AMALAN RAMADLAN
Tanpa terasa 30 hari ibadah puasa Ramadlan 1434 H telah kita lalui dan kita akhiri dengan menunaikan ibadah shalat Idul Fitri. Bisa jadi sebagian umat Islam bersuka cita karena telah dapat kembali makan-minum atau melakukan hubungan suami-isteri di siang hari dengan leluasa. Ini adalah ekspresi orang yang berpuasa dengan niat yang salah, sehingga yang diperoleh hanyalah lapar dan dahaga, sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw, "Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan rasa lapar dari puasanya,….” (H.R. Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim)
Sementara itu, bisa jadi sebagian Muslim lainnya justru bersedih dengan berakhirnya puasa Ramadlan. Mengapa demikian? Karena mereka tidak dapat lagi menikmati kemurahan Allah SwT yang ditebarkan di bulan suci Ramadlan, baik yang berupa rahmat dan barakah, maupun ampunan yang berlipat ganda, sebagaimana termaktub dalam riwayat yang artinya “Bahwasanya pada suatu hari Rasulullah saw bersabda ketika bulan Ramadlan telah tiba: ‘Ramadlan telah datang sebagai berkah bagi kalian, yang di dalamnya Allah menaungi kalian, lalu menurunkan rahmat dan menghapus dosa-dosa, serta mengabulkan doa (yang dipanjatkan) di dalamnya; Allah melihat berlomba-lombanya kalian di dalamnya, dan membanggakan kalian di hadapan para malaikat-Nya. Karena itu, perlihatkanlah kepada Allah kebaikan diri kalian. Karena sesungguhnya orang yang sengsara adalah orang yang mengharamkan rahmat Allah azza wa jalla di bulan Ramadlan.’” (H.R. Thabrani dari Ubadah bin Shamit)
Tujuan kita berpuasa yang paling tepat adalah menyelaraskan dengan kehendak Allah Swt sebagaimana tersurat dengan jelas pada bagian akhir dari Q.s. Al- Baqarah 183, yaitu “berusaha menjadi orang yang bertakwa”. Ketakwaan yang sesungguhnya akan memberikan jaminan atau garansi akan tetap berlanjutnya
amalan-amalan utama yang sudah kita latihkan secara intensif selama satu bulan Ramadlan di bulan-bulan lainnya.
Akhir Ramadlan merupakan pintu masuk menuju awal pembuktian kesinambungan atau kelanjutan nyata dari amalanamalan utama di bulan Ramadlan dengan pemaknaan yang lebih luas.K etika di dalam Ramadlan kita
telah melakukan amalan memperbanyak infak/sedekah, maka di luar Ramadlan kita justru menjadikan amalan itu menjadi sebuah tradisi untuk senantiasa peduli kepada nasib buruk yang sedang menimpa orang atau pihak lain, seperti kemiskinan dan kebodohan. Di saat kita telah melakukan amalan tadarrus Al-Qur’an selama Ramadlan — bukan qira’ah atau tilawah Al-Qur’an yang artinya membaca lafal Al-Qur’an tanpa disertai terjemahannya yang mayoritas dipraktikkan oleh mayoritas orang-orang yang berpuasa — maka di luar Ramadlan kita justru menjadikan amalan yang mencerdaskan itu menjadi sebuah tradisi untuk selalu membaca Al-Qur’an dengan maknanya, bahkan sekaligus berburu tafsirnya. Di samping itu, kita menjadi orang yang gandrung (suka) untuk membaca peta situasi dan kondisi aktual masyarakat secara kritis, kemudian mencoba mencari solusinya dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Pada waktu Ramadlan kita telah melakukan amalan menegakkan shalat qiyamu Ramadlan atau shalat tarawih, maka di luar Ramadlan kita justru menjadikan amalan itu menjadi sebuah tradisi untuk senantiasa melakukan shalat qiyamu l-lail atau tahajjud atau witir meskipun tidak harus setiap malam. Yang penting adalah kontinyuitas atau keistiqamahan kita sekalipun minimal hanya sekali seminggu. Dalam hal ini terdapat sebuah riwayat dari Aisyah ra yang menyinggung masalah ini, yaitu: Artinya: “Amal perbuatan yang paling disukai Rasulullah saw adalah yang dilakukan seseorang secara kontinyu (istiqamah) walaupun amalan itu ringan.” (H.R. Ahmad)
Ketika di dalam 10 hari terakhir Ramadlan kita telah mampu beriktikaf di dalam masjid, maka di luar Ramadlan kita justru menjadikan amalan itu menjadi sebuah tradisi untuk selalu peduli masjid, dengan mencintai dan memakmurkannya dengan shalat-shalat jamaah dan kegiatan religius lainnya. Bahkan menjadikan masjid kampung kita sebagai rumah kedua kita. Kelak di Hari Akhir, tradisi inilah yang akan memasukkan kita ke dalam tujuh golongan manusia yang terhindar dari azab sengatan matahari di Padang Mahsyar karena mendapat naungan Allah sebagai satu-satunya naungan yang ada pada waktu itu.
Marilah kita bangun sunnah hasanah atau tradisi yang baik pasca-Ramadlan dalam kehidupan sehari-hari kita sambil senantiasa berdoa kepada Allah untuk dapat bersikap istiqamah, yaitu: Artinya: “Wahai (Tuhan) Yang Maha Membolak-balikkan hati (manusia), kokohkanlah hati saya terhadap agamamu.”
Selanjutnya, marilah kita akhiri pertemuan yang mulia ini dengan berdoa ke hadirat Allah SwT dengan penuh kekhusukan dan ketundukan, semoga Allah SwT berkenan menjadikan kita sebagai orang-orang yang bertakwa dan memberi kita kemampuan untuk bersikap istiqamah sampai ajal dan kematian menjemput kita.•
Oleh : Drs Setyadi Rahman
GuruMadrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta
di salin dari Suara Muhammadiyah
0 komentar:
Silakan memberikan komentar dengan mengindahkan etika, nilai, dan norma yang berlaku. Dilarang menyepam dengan berbagi link dsb. Semoga Bermanfaat.