Telaga Surga dari Ibu
IPM Lampung - (Telaga Surga dari Ibu : coretan si kecil)
Langit terlihat terang karena mendung menggumpal
memayungi bumi, sehingga sinar bulan tidak mampu lagi menembus pada permukaan
bumi. Malam itu usiaku genap 16 tahun dan dalam tambahan usiaku disambut dengan
tangis deras dari awan yang kelam…, memang dari dulu ulang tahunku tidak pernah
dirayakan, karena aku pun tidak pernah mengharapkan sebuah perayaan ulang tahu
itu. Aku jadi teringat satu tahun yang lalu saat usiaku bertambah, tepatnya
beruasia 15 tahun, itu pun disambut dengan tangis tapi bukan tangis deras dari
awan yang kelam…, tapi dari mata tiap-tiap orang yang sedang bersedih, bersedih
karena kehilangan…, kehilangan seorang wanita yang telah bersusah payah
melahirkanku, mengorbankan hidup dan matnya untukku…, wanita yang sangat ku
sayangi.
* * *
Satu tahun
yang lalu…
Sudah enam hari ini ibu berada di ruang ICU disebuah
rumah sakit di kota Jakarta, dikarenakan penyakit kronis yang diderita beliau,
penyakit ibu adalah tumor ganas yang sudah tujuh bulan terakhir menggerogoti
tubuh beliau.
Siang itu aku berada di ruang ICU…
“ Ibu…cepat sembuh ya? Sebentar lagi Febi tambah umur,
Febi pingin…banget ibu cium pipi Febi saat Febi ulang tahun nanti. Febi janji
ibu yang pertama cium Febi…, cepat sembuh ya bu…Febi sayang banget sama ibu…,
Febi rindu senyum ibu,” kataku sambil memegang tangan ibu dan tanpa sadar aku
meneteskan air mata…, lalu aku menempelkan tangan halus ibu di pipiku
seakan-akan beliau menghapuskan air mataku…aku tersenyum memandang ibu dengan
dengan penuh harapan.
Tiba-tiba seseorang mendekapku dari belakang,
tersentak aku terbangun dari lamunanku.
“Dik…, nggak usah menangis.. .ibu juga pasti nggak mau
lihat kamu menangis… kakak mengerti perasaan adik sekarang, kakak juga
merasakan hal yang sama, kita banyak-banyak berdo’a saja biar ibu cepat sembuh
dan kita bisa kumpul bersama lagi seperti dulu, sudah ya dik…”, kata kakak
sambil mengusap air mataku, sementara aku hanya diam saja dan kembali menatap
lekat-lekat kea rah ibu yang terbaring lemah.
Sepanjang malam Febi bermunajat, Febi membaca do’a sholat
dengan tatapan menunduk memandang sajadah yang menghampar di depannya, dia
tetap bersimpuh duduk bertafakkur dan berwirid atas nama Allah dan Muhammad
adalah kekasih Allah. Hatinya menjerit mengharap bantuan Allah agar semuanya
segera berakhir dan ibunya bisa sehat kembali, diakhir sholatnya dia berdo’a.
“Ya, Allah…, besok adalah hari ulang tahunku…, ya
Allah hambamu ini sangat memohon…, kabulkanlah so’a hamba…, sembuhkanlah ibu
hamba… karena bagiku itu adalah hadiah terbesar yang pernah kudapatkan, engkau
maha mendengar ya Allah…, kabulkanlah permohonan hambamu ini.” Jerit Febi dalam
hati.
* * *
Pagi pun kan bergeser menepi menandakan malam segera
hadir, bulan mulai menampakkan diri dari arah barat. Malam itu saat aku baru
saja ingin masuk ke ruang ICU, kakak berjalan menghampiriku dengan tersenyum.
“Kenapa kakak bisa tersenyum?? Padahal ibu sedang
sakit parah, pasti dibalik senyuman itu diselimuti kepedihan dan sakit yang
amat dalam. Mungkin kakak berusaha bersikap tegar dihadapanku dan aku yakin aku
bisa seperti kakak.” Kataku dalam hati, lalu kakak memelukku.
“Dik…, ibu sudah siuman, do’a kita dikabulkan oleh
Allah.” Ucap kakak setelah melepaskan dekapannya sambil berteriak dengan
senangnya. Akupun kaget, darahku serasa berhenti mengalir, jantungku terasa
berhenti beraktivitas atas berita itu, mulutku terkunci, aku tidak bisa
berbicara apa-apa.
“Alhamdullillah ya Allah, aku tahu Engkau maha
mendengar segala do’a-do’a hambamu ini, aku sangat bersyukur atas nikmat besar
yang Engkau berikan ini. Ya Allah ternyata dugaanku salah kakak tersenyum…,
tersenyum lebar atas nikmat dan anugerah yang Engkau berikan ini.” Kataku dalam
hati dan aku langsung tancap gas untuk menghampiri ibu yang masih berbaring
lemas di tempat tidur, aku memeluknya dengan penuh rasa kasih sayang dan
kerinduan yang tak terkira.
“Febi…, besok kamu ulang tahun ya sayang…, ibu minta
maaf ya nak… ibu tidak dapat memberikan kado untukmu.” Tutur ibu dengan nada
yang lembut.
“Bu…, bagi Febi itu tidak ada artinya dibandingkan
dengan kesembuhan ibu, itu merupakan hadiah yang sangat special untuk Febi…
Bahkan hadiah yang melebihi apapun, ini hadiah yang paling istimewa.” Balasku.
“Tapi mungkin ini tidak akan lama nak…. Ibu merasa
ajal sudah di depan mata, untuk itu ibu ingin minta maaf sama Ayah, Febi dan
Clara dan sampaikan juga permintaan maaf ibu pada semua orang yang dekat dengan
ibu…. Jaga diri baik-baik ya nak.” Ucap ibu dengan nafas tersengal-sengal.
“Febi tidak suka ibu bicara seperti itu, sudah bu….
Jangan bicara lagi, ibu pasti akan baik-baik saja… Percaya sama Febi.” Jawab
Febi dengan meneteskan airmata kemudian dia memeluk ibunya.
* * *
Saat pukul
11.30 WIB, di ruang ICU…
Tanpa sadar aku tertidur disamping ibu…, aku terbangun
saat itu entah kenapa aku mempunyai feeling yang tidak enak, segera aku
memegang tangan ibu untuk memeriksa denyut nadi beliau dan aku bisa bernafas
lega setelah mengetahui bahwa denyut nadi ibu masih beraktivitas, lama aku
memandangi wajah ibuku…. Sangat pucat, dingin dalam hatiku berkata.
“Febi tidak ingin kehilangan ibu…. Febi ingin selalu
bersama ibu.” Saat aku menangis tanpa sadar ibu telah melihatnya.
“Febi… kenapa menangis??” Tanya ibu sambil menoleh kea
rah jam dinding.
“Kurang 2 menit lagi kamu ulang tahun nak…. Kamu
semakin dewasa, umurmu 15 tahun, sekali lagi pesan ibu jaga diri baik-baik ya
nak… ibu sayag sama febi.” Kata beliau sambil terus memandangi jam dinding.
Saat pukul 24.00 WIB tepat, beliau kembali menoleh ke arahku dengan tatapan
damai dan sejuk sambil berkata “Selamat ulang tahun ya sayang… semoga di usia yang
ke-15 ini kamu semakin dewasa, lebih patuh pada orang tua terutama ayahmu yang
siang malam jungkir balik untuk mencari uang demi kelanjutan sekolahmu dan
kuliah kakakmu…. Semoga kamu bisa sukses dalam mencapai apa yang telah kamu
cita-citakan. Amin… Itu harapan terbasar ibu nak… do’a ibu selalu menyertaimu.”
Setelah itu ibu langsung mengecup pipi dan keningku, lalu memelukku dengan
penuh kasih sayang dan kehangatan. Nafas ibu kembali tersengal-sengal dank aku
spontan berteriak.
“Ibuuuuuu……!!” dan kemudian aku segera memanggil
dokter serta ayah.
“Dokter….! Ayah…!! Ibu…!!!” teriakku. Sementara kakak
dan ayah yang kebetulan tidur diluar kamar menndengar teriakanku dan langsung
berlari ke dalam kamar. Aku, kakak, serta ayah terus berdo’a, tidak berhenti
menyebut nama Allah berharap agar do’a kami terkabulkan, sembari dokter
memeriksa ibuku.
* * *
Beberapa menit kemudian…
Setelah di periksa oleh dokter, ibu berkata dengan
suara yang terputus-putus.
“Pak… ibu sudah tidak kuat…”
“Bapak Bantu ibu membaca dua kalimat syahadat ya?”
Tanya ayah, lalu ibu mengangguk pelan.
“Ya… pelan-pelan. Asyhadu allaaillallah….” Ucap
ayah, ibu mengikutinya tapi sangat sulit ibu mengucapkannya. Sementara aku dan
kakak menangis terisak-isak.
“Wa…. Asyhadu…” lanjut bapak, tapi nyawa ibu
sudah dicabut oleh sang pencabut nyawa, ibu telah meninggal.
“Ibu… ibu tidak apa-apa kan?” tanyaku sambil
menggoyang-goyangkan tubuh ibu, setelah itu aku kembali memegang tangan ibu dan
mencari denyut nadinya.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un” ucapku dan
dilanjutkan ayah serta kakakku tanpa berkata dan bertanya apapun. Dan itulah
ulang tahunku yang ke-15, bersamaan dengan kesedihan yang menimpa keluargaku.
“Sabar ya nak… ibumu pasti bahagia disana dan akan
selalu merindukan kita.” Ucap ayah sambil memeluk aku dan kakak. Setelah
kejadian itu Febi anak yang begitu ceria tidak lagi seperti dulu, dia sering
melamun sendiri.
* * *
Dan kini setelah satu tahun berlalu, aku tidak dapat
melupakan itu semua dan tak akan pernah bisa…, diluar sana hujan masih turun
dengan derasnya, aku hanya memandangi lewat jendela dan terdengar sayu-sayu
lantunan lagu milik Opick yang berjudul ibu…
Ibu
Hujan kau ingatkan aku tentang satu rindu
Dimasa yang lalu… saat mimpi masih indah bersamamu…
Terbayang satu masa penuh cinta, penuh kasih
Terbayang satu wajah dengan penuh kehangatan…
Oh, ibu… kau ibu…
Allah izinkanlah aku bahagiakan dia
Meski dia telah jauh biarkan aku berarti untuk dirinya
Oh, ibu… kau ibu…
Terbayang satu masa penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah penuh dengan kehangatan.
Memang bagiku lagu itu sangat mengingatkanku pada
semua kenangan tentang ibuku… ibu yang telah lama meninggalkan aku, tapi aku
berjanji dalam hati akan mewujudkan semua harapan ibu. Aku mendongak ke langit
yang terlihat kelam tanpa bintang.
“Ya Allah…, semoga Engkau terima ibu disisi-Mu, ibu…,
semoga engkau bahagia disana, Amin!”
0 komentar:
Silakan memberikan komentar dengan mengindahkan etika, nilai, dan norma yang berlaku. Dilarang menyepam dengan berbagi link dsb. Semoga Bermanfaat.