Mengukir Prestasi Dihadapan Ilahi
IPM Lampung - Mengukir Prestasi Dihadapan Ilahi (Khutbah Jumat 1)
Al-Hafifzh Ibnu Katsir menambahkan: “Mereka berbeda di sisi Allah adalah karena taqwanya, bukan karena jumlahnya”
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
Tak pelak dari perkembangan tersebut menimbulkan rasa gembira, puas, bangga, bahkan lebih dari itu, yakni sombong. Sebagai contoh, negara yang maju, kuat merasa lebih baik dan harus diikuti (baca: ditakuti) oleh negara yang lain. Orang kaya merasa lebih baik dari yang miskin, orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan (tertentu yang lebih tinggi) merasa lebih baik dan pantas untuk diikuti oleh yang lain dalam segala tuntutannya. Bahkan kadang-kadang, orang yang ditakdirkan Allah mempunyai “kelebihan” dari orang yang ditakdirkan “kekurangan” itu menyu-ruh (memaksa)-nya untuk mengerjakan hal-hal yang menyalahi ajaran agama Allah.
Begitulah kecenderungan manusia dalam memenuhi hasrat hidupnya, kadang (atau bahkan sering) tidak mempedulikan perintah atau larangan Allah. Padahal dari aturan agama inilah manusia diuji oleh Allah-menjadi hamba yang taat atau maksiat. Itulah parameter yang pada saatnya nanti akan dimintai pertanggung-jawabannya.
Renungkanlah syair seorang tabi’in Abdullah Ibnul Mubarak:
Umat Islam) telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an (dan As-Sunnah). Selanjutnya tinggal bagaimana umat Islam menerjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk zhalimun linafsih, muqtashid, atau saabiqun bil khairat bi idznillah.
Dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut:
Itulah ujian Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasul SAW.
Wallahu a'lam bish-showab.
Telah dimaklumi bahwa, manusia pada
mulanya berasal dari dua orang sejoli, Nabiyullah Adam dan ibunda Hawa.
Daripadanya berkembang menjadi banyak bangsa bahkan suku. Semua manusia
dinegara manapun dinisbatkan kepada beliau berdua. Dalam hal ini Allah
berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13, artinya:“Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Disebutkan dalam ayat ini bahwa
kedudukan manusia dihadapan Allah adalah sama, tidak ada perbedaan. Adapun yang
membedakan di antara mereka adalah dalam urusan diin (agama), yaitu seberapa
ketaatan mereka kepada Allah dan RasulNya.
Al-Hafifzh Ibnu Katsir menambahkan: “Mereka berbeda di sisi Allah adalah karena taqwanya, bukan karena jumlahnya”
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
لَيْسَ لأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ فَضْلٌ
إِلاَّ بِالدِّيْنِ أَوْ عَمَلٍ صَالِحٍ. (رواه البيهقي).
“Tidaklah seseorang mempunyai
keutamaan atas orang lain, kecuali karena diinnya atau amal shalih.”
Saat ini, kehidupan manusia telah
berkembang dengan pesat dalam segala aspeknya. Dari segi jumlah mencapai
milyaran, dari sisi penyebaran, ratusan bangsa bahkan ribuan suku yang
masing-masing mengembangkan diri sesuai potensi yang bisa dikem-bangkan.
Darinya pula muncul beragam bahasa, adat istiadat, budaya dan lain-lain,
termasuk teknologi yang mereka temukan. Namun, kalau kita renungkan semua itu
adalah untuk jasmani kita (saja) agar hidup kita dalam keadaan sehat, tercukupi
kebutuhan materi, tidak saling mengganggu, aman tentram dalam mengemban
persoalan kehidupan. Inilah tuntutan “kasat mata” hidup seorang manusia.
Ma’asyiral muslimin, jama’ah Jum’ah
rahimakumullah ...
Tak pelak dari perkembangan tersebut menimbulkan rasa gembira, puas, bangga, bahkan lebih dari itu, yakni sombong. Sebagai contoh, negara yang maju, kuat merasa lebih baik dan harus diikuti (baca: ditakuti) oleh negara yang lain. Orang kaya merasa lebih baik dari yang miskin, orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan (tertentu yang lebih tinggi) merasa lebih baik dan pantas untuk diikuti oleh yang lain dalam segala tuntutannya. Bahkan kadang-kadang, orang yang ditakdirkan Allah mempunyai “kelebihan” dari orang yang ditakdirkan “kekurangan” itu menyu-ruh (memaksa)-nya untuk mengerjakan hal-hal yang menyalahi ajaran agama Allah.
Begitulah kecenderungan manusia dalam memenuhi hasrat hidupnya, kadang (atau bahkan sering) tidak mempedulikan perintah atau larangan Allah. Padahal dari aturan agama inilah manusia diuji oleh Allah-menjadi hamba yang taat atau maksiat. Itulah parameter yang pada saatnya nanti akan dimintai pertanggung-jawabannya.
Tetapi sekali lagi, karena tipisnya
ikatan manusia dengan syariat Allah, manusia banyak yang tidak menghiraukan
halal atau haram, karena memang manusia “tidak punyak hak” untuk menghalalkan
atau mengharamkan sesuatu, kecuali kembali kepada syariat agama Allah. Karena
minimnya ilmu syar’i itulah yang menyebabkan banyak manusia terjerembab ke
lembah kedurhakaan dan jatuh ke lumpur dosa. Bahkan tidak menutup kemungkinan,
para pelakunya tidak merasa berbuat dosa, atau malah bangga dengan “amal dosa”
itu, na’udzubillah.
Renungkanlah syair seorang tabi’in Abdullah Ibnul Mubarak:
رَأَيْتُ الذُّنُوْبَ تُمِيْتُ
الْقُلُوْبَ وَيُوْرِثُكَ الذُّلَ اِدْمَانُهَا، وَتَرْكُ الذُّنُوْبِ حَيَاةُ
الْقُلُوْبِ وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا.
“Aku lihat perbuatan dosa itu
mematikan hati, membiasakannya akan mendatangkan kehinaan. Sedang meninggalkan
dosa itu menghidupkan hati, dan baik bagi diri(mu) bila meninggalkannya”
Prestasi manakah yang akan kita
ukir? Prestasi barrun, taqiyyun, karimun (baik, taqwa, mulia!) Ataukah prestasi
fajirun, syaqiyun, Dzalilun (ahli maksiat, celaka, hina) Dalam hal mana? Yaitu
sejauh mana kita menyikapi ajaran Allah dan RasulNya. Perhatikanlah wasiat Imam
Al-Hasan Al-Bashri berkata:
أَيُّهَا النَّاُس إِنَّمَا أَنْتَ
أَيَّامٌ، كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ.
“Wahai manusia, ketahuilah
bahwasanya engkau adalah (kumpulan) hari-hari, setiap ada sehari yang berlalu,
maka hilanglah sebagian dari dirimu.”
Ma’asyiral muslimin, jama’ah Jum’ah
rahimakumullah ..
·
Sudah berapa umur kita yang berlalu
begitu saja ..
· Sudah berapa amal taat yang telah
kita kumpulkan sebagai investasi di sisi Allah ..
· Sudah berapa pula, amal maksiat
yang telah kita lakukan yang menyebabkan kita (nantinya) terseret kedalam
Neraka ..
Marilah, segera bertobat untuk
‘mengukir” dengan amal taat terhadap Allah dan Rasulnya.
Umat Islam) telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an (dan As-Sunnah). Selanjutnya tinggal bagaimana umat Islam menerjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk zhalimun linafsih, muqtashid, atau saabiqun bil khairat bi idznillah.
Dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut:
· Zhalimun linafsihi: Orang yang
enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi banyak melanggar apa yang Allah
haramkan (yang dilarang)
· Muqtashid: Orang yang menunaikan
kewajiban, meninggalkan yang diharamkan, kadang meninggalkan yang sunnah dan
mengerjakan yang makruh.
· Sabiqun bil khairat: Orang yang
mengerjakan kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan
makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya)
Tak seorang pun di antara kita yang
bercita-cita untuk mendekam dalam penjara. Apalagi penjara Allah yang berupa siksa
api Neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan bebatuan. Tetapi semua itu
terpulang kepada kita masing-masing. Kalau kita tidak mempedulikan syari’at
Allah, tidak mustahil kita akan mendekam di dalamnya.
Itulah ujian Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasul SAW.
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ.
“(Jalan) menuju Jannah itu penuh
dengan sesuatu yang tidak disukai manusia, dan (jalan) Neraka itu dilingkupi
sesuatu yang disukai oleh syahwat”
Semoga Allah mengumpulkan kita dalam umatNya yang terbaik dan terjauhkan dari
ketergelinciran ke dalam jurang kemaksiatan.
Wallahu a'lam bish-showab.
0 komentar:
Silakan memberikan komentar dengan mengindahkan etika, nilai, dan norma yang berlaku. Dilarang menyepam dengan berbagi link dsb. Semoga Bermanfaat.